Label

Minggu, 27 Februari 2011

Pembelajaran Tari sebagai sebuah Profesi

Scratch 1
22 February 2011

           Berawal dari sebersit pemikiran, apa efektivitas pembelajaran seni terutama seni tari di sekolah? Toh pelajaran itu rasanya hanya sebagai pemenuh jam pada kurikulum dan murid-murid pun memandang sepele serta ogah-ogahan mengikuti pelajaran tersebut. Belum lagi hasil pembelajaran mata pelajaran ini secara kasat mata hanya berupa anak mengetahui gerak. Sehingga tumbuh paradigma bahwa untuk jenjang yang lebih tinggi, seni termasuk tari, tidak berguna bagi masa depan si anak.

Mengapa bisa dikatakan demikian?

Kita tak bisa menyalahkan masyarakat begitu saja akan ketakutan menseriusi dunia seni terutama tari. Yang tergambar jelas, salah satunya melalui media terutama media elektronik seperti TV, tari hanya sekedar suguhan atau "sekilas info" dari suatu acara. Belum lagi karena pesatnya pengaruh budaya Eropa yang membawa mode tari modern, ternyata masih belum bisa terakulturasi oleh masyarakat Indonesia, baik secara gerakan maupun kostumnya yang terkesan "terbuka" .

Kalau begini, jelas timbul asumsi bahwa pembelajaran tari di sekolah suatu yang sia-sia. Karena banyak orang awam berpandangan bahwa tari yang terpenting cantik, musik meriah, dan goyangannya. Jika anak anda senang menari, lebih baik gunakan saja jasa sanggar untuk membina anak tersebut. 

Jadi, untuk apa tetap mempertahankan tari sebagai sebuah keprofesian di bidang pendidikan sedangkan pembelajaran tari bisa saja dilakukan di sanggar-sanggar?

 
Kesenian sebagai produk merupakan hasil dari segala potensi manusia menyangkut cipta, rasa, dan karsa. Kesenian memiliki unsur keluhuran (nilai etis), unsur keindahan (estetik), dan hasil dari emosi (rasa) serta rasio (akal) manusia (Ki Hajar Dewantoro: 2002, 12-24).

          Berdasarkan ucapan Ki Hajar Dewantoro tersebut kita dapat menangkap bahwa pada dunia "sebenarnya", pembelajaran seni termasuk tari di dalamnya dapat membentuk kepribadian yang positif. Belum lagi dalam kurikulum IB (International Baccalaureate) yang digunakan di sekolah-sekolah internasional, beranggapan bahwa pelajaran seni tidak hanya sebagai media berekspresi (how we express ourself) tapi juga sebagai media anak melihat dunia bekerja (how the world works) sehingga kedua hal ini dapat membentuk sikap/kepribadian (attitude) anak ke arah yang positif.

Setiap pembelajaran memiliki 3 aspek, secara aspek psikomotor tentu dengan pembelajaran tari dapat meningkatkan kecerdasan bodly kineshtetic, secara kognitif anak diajarkan untuk berkonsentrasi pada relasi antara hitungan gerak, musik, dan pola lantai, dan terakhir secara afektif pembelajaran tari mengajarkan harmoni dalam perbedaan karena jika belajar tari Aceh maka semua murid baik dari jawa, ambon, papua, dll menjadi satu kesatuan dengan budaya Aceh.

Lalu jika kita meneliti, mengapa pembelajaran tari dewasa ini tidak bisa seperti itu lagi? Tentu kita akan menemukan berbagai alasan menyertai hal itu.


           Alasan yang paling utama adalah pengajar yang ada saat ini kebanyakan bukanlah lulusan di bidang seni sehingga tidak bisa memberikan materi seni dengan baik dan benar. Pelajaran Seni Budaya teergolong masih cukup baru sehingga waktu itu ahli di bidang seni masih sedikit sehingga sekolah sembarang memposisikan pengajar yang notabene bukan seni bidangnya.

Lalu sekarang, mahasiswa lulusan seni sudah banyak namun mengapa krisis pembelajaran ini masih ada?

Universitas yang membuka jurusan seni tidak hanya satu/dua. Ada cukup banyak universitas dengan jurusan seni sehingga tingkat persaingan semakin tinggi dan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, maka banyak lulusan yang memilih di bidang entertainment di banding menjadi guru karena lebih cepat menghasilkan uang. Dan masih banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan krisisnya pendidikan seni di Indonesia.


           Maka dari itu, mahasiswa-mahasiswa jurusan seni calon guru, setidaknya memiliki kriteria seorang yang profesional agar hal ini dapat teratasi. Kelak mahasiswa harus menjadi sesorang yang spesialis dibidangnya, transparan, kompetitif, profesional, dinamis, juga adaptatif agar bisa menghadapi tantangan krisis pembelajaran seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar