Label

Kamis, 14 Juni 2012

DEMBAS SIMENGUDA: PESAN KESUBURAN PANEN TAPANULI, SUMATERA UTARA


Sebuah Kritik Tari...

Secercah warna merah berpendar di tengah panggung yang gelap. Alunan nyanyian dari seorang pria yang ditemani oleh gesekan biola, mengawali pertunjukkan tari Dembas Simenguda yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.

Di bagian awal, dua penari wanita berjalan seraya memanggul keranjang di pundak mereka—mengelilingi lima wanita yang terduduk membentuk lingkaran di tengah panggung. Asap pedupaan mengepul dari bokor yang dibawa oleh seorang penari yang berada di tengah lingkaran. Perlahan ia berjalan keluar dari lingkarannya menuju tepi panggung, meletakkan bokornya, dan kemudian melakukan gerak menjampi-jampi.

Di bagian pertengahan, musik berubah dari alunan yang lembut menjadi lebih dinamis. Di panggung telah terisi sepuluh penari wanita dengan busana berwarna hitam yang serupa, tak lupa dengan keranjang di punggung mereka. Memecah menjadi lima penari di depan dan di belakang, penari melakukan gerak rampak dengan teknik broken. Keranjang yang semula hanya terpanggul di punggung, telah menjadi bagian dalam tarian tersebut. Tak hanya gerak rampak dengan level medium dan tinggi, kesepuluh penari menari dan bermain dengan keranjang mereka dengan desain level rendah untuk beberapa saat yang cukup lama.

Di bagian akhir, kesepuluh penari mengakhiri gerak rampak mereka dengan jatuh tersungkur membentuk posisi lingkaran. Seorang penari berdiri dan berjalan untuk mengambil bokor kemudian mengelilingi penari lainnya. Dengan penari yang membawa bokor berdiri sebagai pusat dan penari lainnya melakukan gerakan menyembah, maka berakhir pula pertunjukkan tari yang di tata oleh Puput Astagina dan Amelius Rasyid tersebut.

Tema yang sederhana menaungi karya tari ini, yaitu mengenai ritual panen. Kegiatan panen merupakan kegiatan masyarakat yang sangat lekat, terutama untuk masyarakat di negeri tropis seperti Indonesia. Maka tak heran banyak karya seni di negeri ini berpijak pada kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan oleh kedua koreografer.

Gerak-gerak yang dipilih koreografer dapat dikatakan sederhana, selaras dengan tema—membantu untuk menggambarkan suasana. Meski terkesan biasa, namun di bagian tertentu seperti ketika penari menari secara rampak dengan level bawah, gerak tersebut terkesan sulit karena memerlukan penguasaan teknik pernapasan yang baik untuk menjaga kestabilan gerak.

Desain lantai yang digunakan banyak menggunakan desain sig-sag terutama pada gerakan rampak, sehingga menampilkan kemegahan komposisi lantai dan menutupi gerak-gerak yang terkesan biasa. Dengan gerak yang mengalun namun berintensitas cukup kuat dan pola lantai sig-sag memperlihatkan kerapihan selama gerak rampak dan mengindikasikan penari memiliki kualitas yang sama. Namun dalam pengekspresian, wajah penari terkesan datar sehingga kurang menggambarkan dramatik suasana.

Alunan gesekan biola dan nyanyian pembuka sangat memperkuat kesan dramatik di awal. Namun ketika penyanyi wanita berhenti sejenak dan kemudian penyanyi pria menyanyi dengan tempo yang lebih cepat, terdengar terlalu kontras seperti menggabungkan dua musik yang berbeda. Variasi musik berikutnya yang sangat dinamis—yang memadukan nyanyian penyanyi wanita, pria, dan iringan musik—sangat mendukung dramatik suasana.

Secara umum, komposisi tari yang digunakan; pola lantai dan desain lantainya, selaras dengan situasi pentas sehingga panggung tidak tampak lenggang. Pemilihan properti cukup menarik perhatian penonton. Kesepuluh penari memanggul keranjang dan kemudian menarikannya dengan gerak yang dinamis. Hal ini memberikan kesan kehidupan masyarakat petani yang selalu giat dan bersemangat dalam bekerja sekalipun pekerjaan mereka tidak mudah. Dan gerak rampak yang seringkali dilakukan baik dengan mengikutsertakan keranjang atau tidak, mengindikasikan bahwa dalam pekerjaannya, masyarakat petani selalu bekerja bersama.



Nilai religi pun terlihat melalui karya ini, ketika bokor menjadi simbol dalam tarian. Dari gerak yang dilakukan bersama dengan properti bokor memberikan kesan bahwa dalam kegiatannya, masyarakat petani tidak pernah terlepas dengan kepercayaan kepada Tuhan YME. Penggunaan properti bokor yang hanya di awal dan di akhir tarian juga menggambarkan bahwa dalam kegiatannya, masyarakat petani selalu mengawali dengan berdoa kepada Tuhan memohon keberkahan dan seusai panen pun mereka juga berdoa sebagai rasa syukur.

Dari keseluruhan penampilan tari Dembas Simenguda ini, kita bisa melihat kedua koreografer berusaha mengolah sesuatu yang sederhana, yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat petani dan kegiatan panennya. Berangkat dari tema dan gerak-gerak yang sederhana, koreografer menata dengan apik seluruh komponen tari sehingga sesuatu yang sederhana ini menjadi sajian yang menarik untuk dinikmati.

Dengan bentuk tari representasional simbolik, kedua koreografer menuangkan kejadian nyata yang diungkapkan kembali dalam bentuk gerak realis dan juga simbolis. Melalui karya ini, koreografer berhasil menceritakan kemeriahan acara panen dan betapa selalu bersyukurnya masyarakat petani dalam setiap aktifitasnya. Nilai tambah dari Dembas Simenguda ini di dapat dari penggunaan musik yang beragam dalam mendukung dramatik jalan cerita. Beberapa bait nyanyian terdengar begitu “mengena” di telinga penonton sehingga mudah teringat. Sekalipun demikian, masih terdapat musik yang terlalu kontras perpindahannya sehingga seperti menggabungkan 2 musik yang berbeda
 ***

Minggu, 15 Januari 2012

Dance Education Crisis

Di tengah research data untuk penelitian saya, yang dibantu oleh saudara perempuan saya--berakhir pada sebuah ironi yang membuat saya speechless

Rakyat Indonesia selalu berbangga bahwa negaranya ini merupakan negara besar yang memiliki keragaman budaya dan kesenian yang sangat banyak jumlahnya. Seharusnya dengan modal ini bukanlah suatu yang aneh dan membanggakan jika Indonesia maju ke pentas dunia menjadi pembicara mengenai kebudayaan, melainkan suatu keharusan! Lagi-lagi terbentur dengan dunia Platonis dimana sesuatu yang benar hanya ada di alam pikiran namun akan lain hal lagi ketika dikenyataan. Dan kenyataannya, pada sebuah ajang dunia UNESCO World Conference on Arts Education baik yang pertama maupun yang kedua, Indonesia tidak berdiri disana untuk maju menjadi pembicara. Negara besar yang dianugerahi Tuhan dengan ragam seni budaya hanya berdiam di tempatnya sedang negara-negara kecil di Samudera Pasifik, yang saya saja tidak tahu ada negara itu, ikut berpartisipasi. Dan yang lebih ironi, tetangga sebelah Indonesia saja, Malaysia, menjadi pembicara di kancah tersebut.

Pencarian data saya pun berlanjut dan banyak hal mengejutkan menemui saya. Hingga saat ini bahkan beberapa keluarga saya masih mempertanyakan kehidupan masa depan saya nantinya karena pilihan saya untuk masuk ke Jurusan SENI TARI. Kakak saya saja masih mempertanyakan "Untuk apa belajar MENARI di perguruan tinggi?" dan jujur saja saya tidak bisa menemukan jawaban yang menggugah saat itu karena saya belum bisa melihat pentingnya tari di dalam kehidupan. Dan saya sempat berpikir kalau mungkin saja di seluruh dunia, tari hanya untuk tari. Kebimbangan saya mulai terjawab ketika saudara perempuan yang membantu saya mencari data menemukan jurnal-jurnal tersebut. Berbagai jurnal-jurnal berbahasa Inggris yang isinya membuat saya menitikkan airmata ironi.

Di luar sana, di benua Eropa, Amerika, Australia bahkan Afrika sudah sangat memikirkan dan merumuskan bahwa tari bukanlah lagi miliknya sendiri namun menjadi sangat penting dalam aspek kehidupan lain. Bahwa dengan tari dapat membuat tingkat AIDS menurun, tari mengupas isu gender, dan bahkan terapi untuk beberapa penyakit. Dan di negara Eropa, Austalia, dan Amerika dengan kurikulum K-12/P-12 mereka, menitikberatkan penilaian pendidikan seni tari mereka tidak lagi sekedar kecerdasan psikomotor atau sekedar bisa mengimitasi dan menari, namun bagaimana tari berelasi dengan aspek kehidupan lainnya. Sesungguhnya Indonesia perlu berbangga karena jika negara-negara itu baru tersadar sekarang, negara ini sudah menuangkan ide itu di Permendiknas sejak lama. Namun apalah artinya berbangga atas konsep yang ada sejak dulu namun tidak diaplikasikan? Karena keadaan yang sebenarnya di lapangan, penilaian seni tari hanya berupa bisa/tidaknya siswa melakukan imitasi gerak yang dilakukan, bukan seperti yang dikatakan Permendiknas bahwa penilaian seni tari yang masuk ke dalam Seni Budaya harus dinilai melalui perubahan perilaku dan afektif karena pelajaran ini termasuk ke dalam kategori mata pelajaran ahlak mulia dan estetika.

Saya terus bertanya-tanya, apa yang membuat seni tari di negara ini tidak bisa mengejawantahkan konsep dari cendikia terdahulu? Bisa dimengerti kalau Indonesia belum bisa secanggih Amerika di bidang antariksa karena kita tidak mempunyai alat-alat mendukung yang entah memang tidak sanggup untuk membelli namun di bidang tari apakah untuk meneliti dan mengembangkan ilmu ini kita perlu alat-alat tertentu yang mahal-mahal harganya? Masyarakat Indonesia commonly tidak memandang seni termasuk tari tidak penting karena kebutuhan primer mereka saja masih sulit. Berarti hebat sekali bukan, orang-orang Afrika yang seringkali orang Indonesia menyinyir kemiskinan mereka, dan mereka sudah menganggap tari sebagai bagian penting dalam pendidikan mereka.



Merunut cerita Soe Hok Gie dan ucapan kakak saya, bahwa pencerahan dimulai dari MAHASISWA. Bagaimana dengan mahasiswa pendidikan seni tari di Indonesia?Apa yang ada di benaknya mereka ketika memutuskan untuk mengambil jurusan ini?Ada banyak tantangan di depan mereka untuk mengembangkan bahasan mereka namun saya sebagai salah satu bagian itu mengamati rekan-rekan saya yang lain seakan think nothing dan membuat saya teringat ucapan seorang rekan saya yang ditegur oleh seniornya karena ketika pentas ia mencontek gerak temannya saja dan jawaban rekan saya yang merupakan mahasiswi jurusan pendidikan seni tari itu hanya, "Yaelah kak nari yang penting tuh goyangan sama senyum saja". Mengingat jawaban teman saya dan m mbandingkan dengan apa yang sudah terjadi di dunia pendidikan seni tari di luar sana membuat saya berpikir apa yang salah sehingga seorang akademisi hanya mampu berpikir sampai batas itu saja? Mengapa penelitian tari di Indonesia masih seputar hal itu-itu saja yang mengutip ucapan seorang dosen saya, dia bilang memuakkan? Bahkan ketika saya mengajukan ide penelitian mengenai bagaimana dengan tari bisa merubah perilaku ke arah positif, rekan mahasiswa dan dosen saya seakan masih canggung dan berkata, oh ya tari juga seharusnya dinilai afeksinya. Menjawab hal ini saja di Indonesia seperti masih asing apalagi memecahkan bagaimana dengan tari bisa menurunkan tingkat AIDS?!