Di tengah research data untuk penelitian saya, yang dibantu oleh saudara perempuan saya--berakhir pada sebuah ironi yang membuat saya speechless
Rakyat Indonesia selalu berbangga bahwa negaranya ini merupakan negara besar yang memiliki keragaman budaya dan kesenian yang sangat banyak jumlahnya. Seharusnya dengan modal ini bukanlah suatu yang aneh dan membanggakan jika Indonesia maju ke pentas dunia menjadi pembicara mengenai kebudayaan, melainkan suatu keharusan! Lagi-lagi terbentur dengan dunia Platonis dimana sesuatu yang benar hanya ada di alam pikiran namun akan lain hal lagi ketika dikenyataan. Dan kenyataannya, pada sebuah ajang dunia UNESCO World Conference on Arts Education baik yang pertama maupun yang kedua, Indonesia tidak berdiri disana untuk maju menjadi pembicara. Negara besar yang dianugerahi Tuhan dengan ragam seni budaya hanya berdiam di tempatnya sedang negara-negara kecil di Samudera Pasifik, yang saya saja tidak tahu ada negara itu, ikut berpartisipasi. Dan yang lebih ironi, tetangga sebelah Indonesia saja, Malaysia, menjadi pembicara di kancah tersebut.
Pencarian data saya pun berlanjut dan banyak hal mengejutkan menemui saya. Hingga saat ini bahkan beberapa keluarga saya masih mempertanyakan kehidupan masa depan saya nantinya karena pilihan saya untuk masuk ke Jurusan SENI TARI. Kakak saya saja masih mempertanyakan "Untuk apa belajar MENARI di perguruan tinggi?" dan jujur saja saya tidak bisa menemukan jawaban yang menggugah saat itu karena saya belum bisa melihat pentingnya tari di dalam kehidupan. Dan saya sempat berpikir kalau mungkin saja di seluruh dunia, tari hanya untuk tari. Kebimbangan saya mulai terjawab ketika saudara perempuan yang membantu saya mencari data menemukan jurnal-jurnal tersebut. Berbagai jurnal-jurnal berbahasa Inggris yang isinya membuat saya menitikkan airmata ironi.
Di luar sana, di benua Eropa, Amerika, Australia bahkan Afrika sudah sangat memikirkan dan merumuskan bahwa tari bukanlah lagi miliknya sendiri namun menjadi sangat penting dalam aspek kehidupan lain. Bahwa dengan tari dapat membuat tingkat AIDS menurun, tari mengupas isu gender, dan bahkan terapi untuk beberapa penyakit. Dan di negara Eropa, Austalia, dan Amerika dengan kurikulum K-12/P-12 mereka, menitikberatkan penilaian pendidikan seni tari mereka tidak lagi sekedar kecerdasan psikomotor atau sekedar bisa mengimitasi dan menari, namun bagaimana tari berelasi dengan aspek kehidupan lainnya. Sesungguhnya Indonesia perlu berbangga karena jika negara-negara itu baru tersadar sekarang, negara ini sudah menuangkan ide itu di Permendiknas sejak lama. Namun apalah artinya berbangga atas konsep yang ada sejak dulu namun tidak diaplikasikan? Karena keadaan yang sebenarnya di lapangan, penilaian seni tari hanya berupa bisa/tidaknya siswa melakukan imitasi gerak yang dilakukan, bukan seperti yang dikatakan Permendiknas bahwa penilaian seni tari yang masuk ke dalam Seni Budaya harus dinilai melalui perubahan perilaku dan afektif karena pelajaran ini termasuk ke dalam kategori mata pelajaran ahlak mulia dan estetika.
Saya terus bertanya-tanya, apa yang membuat seni tari di negara ini tidak bisa mengejawantahkan konsep dari cendikia terdahulu? Bisa dimengerti kalau Indonesia belum bisa secanggih Amerika di bidang antariksa karena kita tidak mempunyai alat-alat mendukung yang entah memang tidak sanggup untuk membelli namun di bidang tari apakah untuk meneliti dan mengembangkan ilmu ini kita perlu alat-alat tertentu yang mahal-mahal harganya? Masyarakat Indonesia commonly tidak memandang seni termasuk tari tidak penting karena kebutuhan primer mereka saja masih sulit. Berarti hebat sekali bukan, orang-orang Afrika yang seringkali orang Indonesia menyinyir kemiskinan mereka, dan mereka sudah menganggap tari sebagai bagian penting dalam pendidikan mereka.
Merunut cerita Soe Hok Gie dan ucapan kakak saya, bahwa pencerahan dimulai dari MAHASISWA. Bagaimana dengan mahasiswa pendidikan seni tari di Indonesia?Apa yang ada di benaknya mereka ketika memutuskan untuk mengambil jurusan ini?Ada banyak tantangan di depan mereka untuk mengembangkan bahasan mereka namun saya sebagai salah satu bagian itu mengamati rekan-rekan saya yang lain seakan think nothing dan membuat saya teringat ucapan seorang rekan saya yang ditegur oleh seniornya karena ketika pentas ia mencontek gerak temannya saja dan jawaban rekan saya yang merupakan mahasiswi jurusan pendidikan seni tari itu hanya, "Yaelah kak nari yang penting tuh goyangan sama senyum saja". Mengingat jawaban teman saya dan m mbandingkan dengan apa yang sudah terjadi di dunia pendidikan seni tari di luar sana membuat saya berpikir apa yang salah sehingga seorang akademisi hanya mampu berpikir sampai batas itu saja? Mengapa penelitian tari di Indonesia masih seputar hal itu-itu saja yang mengutip ucapan seorang dosen saya, dia bilang memuakkan? Bahkan ketika saya mengajukan ide penelitian mengenai bagaimana dengan tari bisa merubah perilaku ke arah positif, rekan mahasiswa dan dosen saya seakan masih canggung dan berkata, oh ya tari juga seharusnya dinilai afeksinya. Menjawab hal ini saja di Indonesia seperti masih asing apalagi memecahkan bagaimana dengan tari bisa menurunkan tingkat AIDS?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar