Sebuah Kritik Tari...
Secercah warna merah berpendar di tengah panggung yang gelap. Alunan nyanyian dari seorang pria yang ditemani oleh gesekan biola, mengawali pertunjukkan tari Dembas Simenguda yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.
Di bagian awal, dua penari wanita berjalan seraya memanggul keranjang di pundak mereka—mengelilingi lima wanita yang terduduk membentuk lingkaran di tengah panggung. Asap pedupaan mengepul dari bokor yang dibawa oleh seorang penari yang berada di tengah lingkaran. Perlahan ia berjalan keluar dari lingkarannya menuju tepi panggung, meletakkan bokornya, dan kemudian melakukan gerak menjampi-jampi.
Di bagian pertengahan, musik berubah dari alunan yang lembut menjadi lebih dinamis. Di panggung telah terisi sepuluh penari wanita dengan busana berwarna hitam yang serupa, tak lupa dengan keranjang di punggung mereka. Memecah menjadi lima penari di depan dan di belakang, penari melakukan gerak rampak dengan teknik broken. Keranjang yang semula hanya terpanggul di punggung, telah menjadi bagian dalam tarian tersebut. Tak hanya gerak rampak dengan level medium dan tinggi, kesepuluh penari menari dan bermain dengan keranjang mereka dengan desain level rendah untuk beberapa saat yang cukup lama.
Di bagian akhir, kesepuluh penari mengakhiri gerak rampak mereka dengan jatuh tersungkur membentuk posisi lingkaran. Seorang penari berdiri dan berjalan untuk mengambil bokor kemudian mengelilingi penari lainnya. Dengan penari yang membawa bokor berdiri sebagai pusat dan penari lainnya melakukan gerakan menyembah, maka berakhir pula pertunjukkan tari yang di tata oleh Puput Astagina dan Amelius Rasyid tersebut.
Tema yang sederhana menaungi karya tari ini, yaitu mengenai ritual panen. Kegiatan panen merupakan kegiatan masyarakat yang sangat lekat, terutama untuk masyarakat di negeri tropis seperti Indonesia. Maka tak heran banyak karya seni di negeri ini berpijak pada kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan oleh kedua koreografer.
Gerak-gerak yang dipilih koreografer dapat dikatakan sederhana, selaras dengan tema—membantu untuk menggambarkan suasana. Meski terkesan biasa, namun di bagian tertentu seperti ketika penari menari secara rampak dengan level bawah, gerak tersebut terkesan sulit karena memerlukan penguasaan teknik pernapasan yang baik untuk menjaga kestabilan gerak.
Desain lantai yang digunakan banyak menggunakan desain sig-sag terutama pada gerakan rampak, sehingga menampilkan kemegahan komposisi lantai dan menutupi gerak-gerak yang terkesan biasa. Dengan gerak yang mengalun namun berintensitas cukup kuat dan pola lantai sig-sag memperlihatkan kerapihan selama gerak rampak dan mengindikasikan penari memiliki kualitas yang sama. Namun dalam pengekspresian, wajah penari terkesan datar sehingga kurang menggambarkan dramatik suasana.
Alunan gesekan biola dan nyanyian pembuka sangat memperkuat kesan dramatik di awal. Namun ketika penyanyi wanita berhenti sejenak dan kemudian penyanyi pria menyanyi dengan tempo yang lebih cepat, terdengar terlalu kontras seperti menggabungkan dua musik yang berbeda. Variasi musik berikutnya yang sangat dinamis—yang memadukan nyanyian penyanyi wanita, pria, dan iringan musik—sangat mendukung dramatik suasana.
Secara umum, komposisi tari yang digunakan; pola lantai dan desain lantainya, selaras dengan situasi pentas sehingga panggung tidak tampak lenggang. Pemilihan properti cukup menarik perhatian penonton. Kesepuluh penari memanggul keranjang dan kemudian menarikannya dengan gerak yang dinamis. Hal ini memberikan kesan kehidupan masyarakat petani yang selalu giat dan bersemangat dalam bekerja sekalipun pekerjaan mereka tidak mudah. Dan gerak rampak yang seringkali dilakukan baik dengan mengikutsertakan keranjang atau tidak, mengindikasikan bahwa dalam pekerjaannya, masyarakat petani selalu bekerja bersama.
Nilai religi pun terlihat melalui karya ini, ketika bokor menjadi simbol dalam tarian. Dari gerak yang dilakukan bersama dengan properti bokor memberikan kesan bahwa dalam kegiatannya, masyarakat petani tidak pernah terlepas dengan kepercayaan kepada Tuhan YME. Penggunaan properti bokor yang hanya di awal dan di akhir tarian juga menggambarkan bahwa dalam kegiatannya, masyarakat petani selalu mengawali dengan berdoa kepada Tuhan memohon keberkahan dan seusai panen pun mereka juga berdoa sebagai rasa syukur.
Dari keseluruhan penampilan tari Dembas Simenguda ini, kita bisa melihat kedua koreografer berusaha mengolah sesuatu yang sederhana, yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat petani dan kegiatan panennya. Berangkat dari tema dan gerak-gerak yang sederhana, koreografer menata dengan apik seluruh komponen tari sehingga sesuatu yang sederhana ini menjadi sajian yang menarik untuk dinikmati.
Dengan bentuk tari representasional simbolik, kedua koreografer menuangkan kejadian nyata yang diungkapkan kembali dalam bentuk gerak realis dan juga simbolis. Melalui karya ini, koreografer berhasil menceritakan kemeriahan acara panen dan betapa selalu bersyukurnya masyarakat petani dalam setiap aktifitasnya. Nilai tambah dari Dembas Simenguda ini di dapat dari penggunaan musik yang beragam dalam mendukung dramatik jalan cerita. Beberapa bait nyanyian terdengar begitu “mengena” di telinga penonton sehingga mudah teringat. Sekalipun demikian, masih terdapat musik yang terlalu kontras perpindahannya sehingga seperti menggabungkan 2 musik yang berbeda
***